Negara yang
menganut demokrasi sebagai sistem pemerintahannya, tentu ada masa untuk
melakukan pergantian kekuasaan. Masa pergantian kekuasaan tersebut dikenal
dengan istilah pemilihan umum (pemilu). Indonesia merupakan salah satu negara
yang menganut demokrasi sebagai sistem pemerintahannya, sehingga tercatat sejak
tahun 1995 hingga 2019, Indonesia menyelenggarakan pemilu. Pemilu di Indonesia
diselenggarakan 5 (lima) tahun sekali.
Tidak dapat
dipungkuri bahwa setiapkali pemilu diselenggarakan, selalu mendapat penilaian
buruk dari berbagai pihak. Salah satunya, Mohammad Nasih, ilmuan poliitik
Universitas Indonesia (UI). Dalam akun facebooknya, Nasih menyatakan bahwa
pemilu 2019 merupakan pemilu paling liberal Machiavallian. Sebelumnya, julukan
tersebut ia sematkan untuk Pemilu 2009 saat Bapak Susilo Bambang Yodhoyono
(SBY) mempertahankan kekuasaan dalam periode kedua. Namun, ternyata yang
sekarang jauh lebih parah, karena kecurangan yang terjadi sangat massif,
sistematis, dan terstruktur.
Kecurangan
yang terjadi tentu tidak terlepas dari peran penyelenggara pemilu. Dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 1 angka 7
dijelaskan bahwa penyelenggara pemilu terdiri dari Komisi Pemilihan Umum (KPU),
Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DPKK).
Disinyalir
dari berita Kompas.com, pihak penyelenggara dalam hal ini Komisioner KPU
Pramono Ubaid Tanthowi menegaskan bahwa kesalahan entry data
C1 ke Sistem Penghitungan Suara (Situng) murni disebakan karena human
error (Kompas.com, 19/04/2019). Jika kesalahannya sekali,
bolehlah itu dapat dikatakan human error. Namun, fakta
empirik di lapangan justru menunjukkan bahwa yang terjadi adalah kesalahan yang
berkali-kali, sehingga ini dapat dikatakan sebagai kecurangan yang massif,
sistematis, dan tersrtuktur.
Selain itu,
penilaian juga datang dari tokoh yang sangat fenomenal yang saat ini menjabat
sebagai Wakil Ketua DPR RI, yaitu Fahri Hamzah. Dalam akun twitternya, Fahri
menyatakan bahwa dulu dalam penyelenggaran pemilu ada kecurangan, tapi retail
dan kecil, diam-diam dan hanya buah bibir. Namun, dalam penyelenggaraan pemilu
2019 kali ini, di berbagai lini banyak terjadi kecurangan, mulai dari rekayasa
DPT, manipulasi pencoblosan sampai sulap menyulap rekap suara. Kendati sudah
dingatkan, pihak penyelenggara pemilu tetap membela diri dengan segala cara dan
bahkan mengancam yang mengkritisi.
Klaim
Komisioner KPU soal human error tenyata sudah terungkap
sebagai sebuah pelanggaran. Hal ini berdasarkan adanya putusan dari Badan
Pengawal Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia Nomor:
07/LP/PP/ADM/RI/00.00/V/2019 bahwa KPU sebagai terlapor telah terbukti
melakukan pelanggaran tata cara dan prosedur penginputan data formulir C1 ke
situng (Tribunjateng.com, Jum’at (17/5/2019).
Jika pemilu
dianalogikan sebagai sebuah pertandingan sepak bola, maka KPU bertindak sebagai
wasit dan pasangan calon dan/atau calon sebagai tim yang berlaga. Sebagai
seorang wasit, tentu harus bertindak adil dan tidak curang, karena jika ia
curang maka dapat dipastikan pertandingan akan berlangsung kacau dan tim yang
dicurangi akan kewalahan menghadapinya.
Prilaku
curang seorang wasit memang dapat dipungkuri adanya, karena dalam prinsip
hidup, uang adalah segala-galanya, sehingga mau tidak mau dapat mengubah segala
kondisi. Wasit yang seharusnya berada di tengah, justru malah condong di salang
satu pihak. Karena itu, jika ingin menjadi “wasit” dan/atau terjun ke
dunia politik, maka persoalan finansial sudah harus beres, agar tidak menjadi
intelektual tukang. Intelektual tukang adalah sebutan bagi kaum terdidik yang
bertindak seperti layaknya seorang tukang yang selalu mengikuti perintah
mandornya tanpa berpikir panjang.
Idealnya,
kaum intelektual atau ilmuan yang disebut sebagai pewaris nabi diharapkan
menjadi pribadi-pribadi otonom yang tidak pernah takut kepada segala risiko
yang mengancam hidup dan penghidupan mereka, karena memang tujuan para nabi
bukanlah mencari upah material. Namun, yang terjadi saat ini, tidak sedikit
kaum intelektual yang justru menjadikan intelektualitasnya sebagai alat utama
untuk sekadar memburu rente. Karena itu, kaum intelektual semacam ini dapat
disebut sebagai intelektual tukang.
Ada beberapa
kecenderungan yang dimiliki oleh intelektual tukang dalam bekerja, yaitu pertama, ada
yang langsung menjajakan ilmu pengetahuannya kepada masyarakat., sehingga
mereka terlihat sebagai para penggerak pendidikan. Namun, sesungguhnya mereka
adalah para pencari untung yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai
komoditas. Kebahagiaan mereka bukan lagi pada besaran manfaat yang bisa
diberikan kepada masyarakat dan/atau negara, melainkan telah berubah menjadi
kecenderungan kepada ihwal yang bersifat material atau duniawi.
Intelektual
tukang laiknya para sofis di era Yunani Kuno yang menjadikan ilmu
pengetahuannya sebagai alat untuk mencari uang. Para filosof Yunani Kuno yang
sangat benci para sofis, menyindir mereka sebagai orang-orang yang menjual
barang- barang spiritual di dalam warung mereka.
Kedua, yang menjajakan ilmu
pengetahuan dengan segmen khusus bernama penguasa. Lebih tepatnya, mereka
menempatkan diri sebagai para pembantu politisi, baik yang sudah berkuasa
maupun yang baru akan merebut kekuasaan. Hal ini dilakukan tanpa memedulikan
apakah politisi yang bersangkutan baik atau jahat. Pilihan ini biasanya hanya
bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki keterampilan khusus yang dibutuhkan
para penguasa untuk membangun pencitraan yang baik dalam pandangan
masyarakat.
Intelektual
tukang yang paling mudah dimasukkan dalam kategori yang kedua ini adalah mereka
yang melakukan survei-survei karena bayaran semata. Mereka menyediakan diri
untuk dikontrak para politisi yang haus kekuasaan dengan bayaran tertentu.
Mereka tidak peduli apakah yang membayar mereka adalah politisi jahat ataukah
baik. Asal mereka dibayar sesuai jumlah tertentu, mereka bekerja untuk
mengetahui berbagai macam hal sebagai bahan untuk membuat strategi dan taktik
guna pemenangan dalam pemilu.
Intelektualitas
mereka telah dibeli hanya dengan jumlah yang tidak seberapa. Mungkin bagi
ukuran orang awam, jumlah tersebut bisa tergolong fantastis, tetapi jika
dibandingkan dengan peran yang sesungguhnya bisa mereka lakukan, imbalan materi
yang mereka terima itu menjadi tidak sebanding. Karena itu, sadarlah kaum
intelektual, peranmu sungguh sangat berpengaruh bagi nasib masa depan bangsa
ini.
Oleh:
Abdurrahman Syafrianto, Wakil Direktur Bidang Politik dan Hukum Center for
Democracy dan Religious Studies (CDRS), Kabid PTKP HMI Komisariat Syari’ah Korkom
Walisongo Semarang Periode 2017-2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar