Kekuasaan dan Intelektual Tukang - HMI Komisariat Syariah Walisongo Semarang

Breaking

Senin, 20 Januari 2020

Kekuasaan dan Intelektual Tukang


Negara yang menganut demokrasi sebagai sistem pemerintahannya, tentu ada masa untuk melakukan pergantian kekuasaan. Masa pergantian kekuasaan tersebut dikenal dengan istilah pemilihan umum (pemilu). Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut demokrasi sebagai sistem pemerintahannya, sehingga tercatat sejak tahun 1995 hingga 2019, Indonesia menyelenggarakan pemilu. Pemilu di Indonesia diselenggarakan 5 (lima) tahun sekali.
Tidak dapat dipungkuri bahwa setiapkali pemilu diselenggarakan, selalu mendapat penilaian buruk dari berbagai pihak. Salah satunya, Mohammad Nasih, ilmuan poliitik Universitas Indonesia (UI). Dalam akun facebooknya, Nasih menyatakan bahwa pemilu 2019 merupakan pemilu paling liberal Machiavallian. Sebelumnya, julukan tersebut ia sematkan untuk Pemilu 2009 saat Bapak Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) mempertahankan kekuasaan dalam periode kedua. Namun, ternyata yang sekarang jauh lebih parah, karena kecurangan yang terjadi sangat massif, sistematis, dan terstruktur.
Kecurangan yang terjadi tentu tidak terlepas dari peran penyelenggara pemilu. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 1 angka 7 dijelaskan bahwa penyelenggara pemilu terdiri dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DPKK).
Disinyalir dari berita Kompas.com, pihak penyelenggara dalam hal ini Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi menegaskan bahwa kesalahan entry data C1 ke Sistem Penghitungan Suara (Situng) murni disebakan karena human error (Kompas.com, 19/04/2019).  Jika kesalahannya sekali, bolehlah itu dapat dikatakan human error.  Namun, fakta empirik di lapangan justru menunjukkan bahwa yang terjadi adalah kesalahan yang berkali-kali, sehingga ini dapat dikatakan sebagai kecurangan yang massif, sistematis, dan tersrtuktur.
Selain itu, penilaian juga datang dari tokoh yang sangat fenomenal yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI, yaitu Fahri Hamzah. Dalam akun twitternya, Fahri menyatakan bahwa dulu dalam penyelenggaran pemilu ada kecurangan, tapi retail dan kecil, diam-diam dan hanya buah bibir. Namun, dalam penyelenggaraan pemilu 2019 kali ini, di berbagai lini banyak terjadi kecurangan, mulai dari rekayasa DPT, manipulasi pencoblosan sampai sulap menyulap rekap suara. Kendati sudah dingatkan, pihak penyelenggara pemilu tetap membela diri dengan segala cara dan bahkan mengancam yang mengkritisi.
Klaim Komisioner KPU soal human error tenyata sudah terungkap sebagai sebuah pelanggaran. Hal ini berdasarkan adanya putusan dari Badan Pengawal Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia Nomor: 07/LP/PP/ADM/RI/00.00/V/2019 bahwa KPU sebagai terlapor telah terbukti melakukan pelanggaran tata cara dan prosedur penginputan data formulir C1 ke situng (Tribunjateng.com, Jum’at (17/5/2019).
Jika pemilu dianalogikan sebagai sebuah pertandingan sepak bola, maka KPU bertindak sebagai wasit dan pasangan calon dan/atau calon sebagai tim yang berlaga. Sebagai seorang wasit, tentu harus bertindak adil dan tidak curang, karena jika ia curang maka dapat dipastikan pertandingan akan berlangsung kacau dan tim yang dicurangi akan kewalahan menghadapinya.
Prilaku curang seorang wasit memang dapat dipungkuri adanya, karena dalam prinsip hidup, uang adalah segala-galanya, sehingga mau tidak mau dapat mengubah segala kondisi. Wasit yang seharusnya berada di tengah, justru malah condong di salang satu pihak.  Karena itu, jika ingin menjadi “wasit” dan/atau terjun ke dunia politik, maka persoalan finansial sudah harus beres, agar tidak menjadi intelektual tukang. Intelektual tukang adalah sebutan bagi kaum terdidik yang bertindak seperti layaknya seorang tukang yang selalu mengikuti perintah mandornya tanpa berpikir panjang.
Idealnya, kaum intelektual atau ilmuan yang disebut sebagai pewaris nabi diharapkan menjadi pribadi-pribadi otonom yang tidak pernah takut kepada segala risiko yang mengancam hidup dan penghidupan mereka, karena memang tujuan para nabi bukanlah mencari upah material. Namun, yang terjadi saat ini, tidak sedikit kaum intelektual yang justru menjadikan intelektualitasnya sebagai alat utama untuk sekadar memburu rente. Karena itu, kaum intelektual semacam ini dapat disebut sebagai intelektual tukang.
Ada beberapa kecenderungan yang dimiliki oleh intelektual tukang dalam bekerja, yaitu pertama, ada yang langsung menjajakan ilmu pengetahuannya kepada masyarakat., sehingga mereka terlihat sebagai para penggerak pendidikan. Namun, sesungguhnya mereka adalah para pencari untung yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai komoditas.  Kebahagiaan mereka bukan lagi pada besaran manfaat yang bisa diberikan kepada masyarakat dan/atau negara, melainkan telah berubah menjadi kecenderungan kepada ihwal yang bersifat material atau duniawi.
Intelektual tukang laiknya para sofis di era Yunani Kuno yang menjadikan ilmu pengetahuannya sebagai alat untuk mencari uang. Para filosof Yunani Kuno yang sangat benci para sofis, menyindir mereka sebagai orang-orang yang menjual barang- barang spiritual di dalam warung mereka. 
Kedua, yang menjajakan ilmu pengetahuan dengan segmen khusus bernama penguasa. Lebih tepatnya, mereka menempatkan diri sebagai para pembantu politisi, baik yang sudah berkuasa maupun yang baru akan merebut kekuasaan. Hal ini dilakukan tanpa memedulikan apakah politisi yang bersangkutan baik atau jahat. Pilihan ini biasanya hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki keterampilan khusus yang dibutuhkan para penguasa untuk membangun pencitraan yang baik dalam pandangan masyarakat. 
Intelektual tukang yang paling mudah dimasukkan dalam kategori yang kedua ini adalah mereka yang melakukan survei-survei karena bayaran semata. Mereka menyediakan diri untuk dikontrak para politisi yang haus kekuasaan dengan bayaran tertentu. Mereka tidak peduli apakah yang membayar mereka adalah politisi jahat ataukah baik. Asal mereka dibayar sesuai jumlah tertentu, mereka bekerja untuk mengetahui berbagai macam hal sebagai bahan untuk membuat strategi dan taktik guna pemenangan dalam pemilu. 
Intelektualitas mereka telah dibeli hanya dengan jumlah yang tidak seberapa. Mungkin bagi ukuran orang awam, jumlah tersebut bisa tergolong fantastis, tetapi jika dibandingkan dengan peran yang sesungguhnya bisa mereka lakukan, imbalan materi yang mereka terima itu menjadi tidak sebanding. Karena itu, sadarlah kaum intelektual, peranmu sungguh sangat berpengaruh bagi nasib masa depan bangsa ini.
Oleh: Abdurrahman Syafrianto, Wakil Direktur Bidang Politik dan Hukum Center for Democracy dan Religious Studies (CDRS), Kabid PTKP HMI Komisariat Syari’ah Korkom Walisongo Semarang Periode 2017-2018.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages