Kodrat Alamsyah |
Hampir setiap tahun, kaum muslimin bergelut dengan masalah awal
puasa dan hari raya. Pemerintah dan lembaga-lembaga Islam seperti ormas Islam
disibukkan berijtihad untuk memastikan kapan Ramadhan dan Syawal dimulai.
Sementara masyarakat acap kali dibingungkan oleh berbagai keputusan pemerintah
dan ormas Islam yang terkadang berbeda.
Perbedaan-perbedaan itu terkadang menimbulkan kesalahpahaman dan
gesekan-gesekan di antara masyarakat. Masing-masing menganggap benar apa yang
diputuskan oleh lembaga yang diikutinya dan menganggap salah lembaga yang lain,
padahal mereka pun tidak mengetahui apa yang dijadikan patokan sebagai
penentuan awal dan akhir bulan oleh masing-masing lembaga tersebut.
Padahal perbedaan metode-metode yang digunakan adalah bagian fiqh,
bukan bagian syariat. Syariat bersumber dari Allah Swt, sehingga tidak mungkin
ada perbedaan. Semua umat Islam sepakat bahwa puasa Ramadhan dimulai saat 1
Syawal karena itu adalah bagian syariat. Sementara fiqh berasal dari mujtahid
dengan merujuk kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, sehingga perbedaan
pemahaman mujtahid merupakan kewajaran.
Pada dasarnya, Rasulullah Saw telah memberikan
tuntunan tentang cara mengetahui kapan memulai puasa Ramadhan, sebagaimana hadis: “Berpuasalah kamu karena melihat hilal
dan berbukalah kamu karena melihat hilal, bila tertutup oleh awan maka
sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi 30 hari” (HR. Bukhari-Muslim).
Namun demikian, dalam memahami hadis tersebut,
terdapat perbedaan interprestasi di antara ulama’. Ada yang memandang “ru’yah”
harus dengan benar-benar melihat (ru’yah bil ‘amali) dan ada yang
memahami bahwa “ru’yah” cukup dengan memperhitungkan (ru’yah bil
‘ilmi).
Persoalan memahami hadis itu juga terjadi di
Indonesia, bahkan kadang karena perbedaan pandangan tersebut dapat memicu
permusuhan yang mengusik jalinan ukhuwah Islamiyah. Salah satu penyebab utama
adalah perbedaan metode dalam menentukan awal bulan qamariah di antara dua organisasi
kemayrakatan Islam terbesar di Indonesia. NU secara instuisi menggunakan metode
rukyatul hilal, sedangkan Muhammadiyah secara instuisi menggunakan metode
wujudul hilal.
Rukyatul Hilal, metode yang
digunakan NU, merupakan kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah
dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit)
tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan
(istikmal) menjadi 30 hari. Kriteria ini digunakan dengan dalih mencontoh
sunnah Rasulullah, para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat
mazhab. Namun bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai
alatbantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Hijriyah.
Sedangkan Wujudul Hilal, metode yang digunakan
Muhammadiyah, merupakan kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah
dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum
Matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah
Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut
dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun
sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam. Dasar yang
digunakan dalam metode ini adalah penafsiran astronomi tentang perintah Allah
dalam Surah Yasin: 36-40.
Berdasarkan perhitungan Asosiasi Falak Mahasiswa
Islam (AFMI) tentang awal bulan Ramadhan 1440 H,
AFMI berhasil menemukan, ijtima’ akhir Sya’ban 1440 H jatuh pada hari Ahad Kliwon,
05 Mei 2019 pukul 05:49:30 WIB. Matahari terbenam sekitar pukul 17:31:29 WIB, dengan sudut
elongasi sebesar 07° 21' 12,25" dan ketinggian
hilal mar’i untuk markaz Menara
Al-Husna MAJT 05° 17' 15,84" (di atas ufuk).
Melihat data
hisab di atas, dapat dipastikam dua ormas Islam terbesar di
Indonesia akan memulai puasa pada hari yang sama. Muhammadiyah dengan metode wujudul hilal, setelah melihat perhitungan di
atas bahwa hilal sudah berada di atas ufuk, maka wajar bahwa Muhammadiyah akan
memulai puasa pada besok harinya. Terbukti, Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah mengeluarkan
maklumat Nomor 01/MLM/I.0/E/2019 yang berisi tentang 1 Ramadhan 1440 H jatuh
pada Senin, 06 Mei 2019.
Sementara NU dengan metode rukyatul hilal memang harus menunggu hasil
rukyat pada Ahad, 05 Mei 2019. Namun
berdasarkan data rukyat di Indonesia yang dikompilasi Kementrian Agama RI dan
data baru rukyat di wilayah sekitar Indonesia yang dihimpun Rukyatul Hilal
Indonesia (RHI), Prof. Thomas Djamaluddin menyimpulkan dua kriteria baru dalam kemungkinan
hilal dapat terlihat. Kedua kriteria tersebut, yakni: jarak sudut Bulan –
Matahari (elongasi) > 6,4o
dan beda tinggi Bulan
– Matahari > 4o. Atas dasar inilah, penulis yakin bahwa pasti akan
ada perukyat yang berhasil melihat hilal saat Ahad, 05 Mei 2019. Dengan begitu
NU pun akan mulai puasa Ramadhan saat Senin, 06 Mei 2019.
Namun walaupun begitu, umat Islam Indonesia tetap harus menunggu
hasil sidang isbat. Pemerintah sebagai pemegang
otoritas tertinggi dalam membuat keputusan hendaknya benar-benar dapat
dijadikan pedoman dan menjadi solusi bagi umat Islam di tanah air. Menteri
Agama melalui Badan Hisab Rukyah Kementerian memiliki otorias dan wewenang
dalam penetapan awal bulan puasa. Ini didasarkan kaidah “hukmul hakim ilzamun wa yarfa’ al-khilaf”.
Kewajiban mematuhi pemerintah merupakan sebuah
keharusan dalam menyelesaikan masalah perbedaan dan pertentangan yang ada,
dimana keputusan pemerintah itu bersifat mengikat (wajib dipatuhi) guna menghilangkan
perbedaan pendapat. Oleh karena itu, jika
pemerintah telah menetapkan dan memutuskan, maka seluruh masyarakat Indonesia
harus mematuhinya. Ini dimaksudkan
untuk mewujudkan kemaslahatan, menjaga ukhwah dan menciptakan ketenangan dalam
beribadah di kalangan umat Islam di tanah air.
Dengan demikian, umat Islam Indonesia akan dapat serentak dalam mengawali
ibadah Puasa Ramdhan 1440 H. Wa Allah
a’lam bi al-Shawaab.*
*Oleh: Kodrat Alamsyah, Ketua Umum Asosiasi Falak Mahasiswa Islam (AFMI) Semarang, Ketua Bidang PTKP HMI Komisariat Syariah Korkom Walisongo
*Oleh: Kodrat Alamsyah, Ketua Umum Asosiasi Falak Mahasiswa Islam (AFMI) Semarang, Ketua Bidang PTKP HMI Komisariat Syariah Korkom Walisongo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar