Kodrat Alamsyah |
Pidato Ketua
Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie saat Festival 11 di Medan,
Sumatera Utara menuai banyak respons dari masryarakat. Dalam pidato tersebut,
Grace Natalie menyinggung partai-partai nasionalis yang membiarkan maraknya
peraturan daerah (perda) diskriminatif, seperti perda-perda syariah.
Penolakan
perda syariah yang dilakukan oleh Ketua Umum PSI merupakan langkah yang berani.
Pada waktu-waktu menuju ke ambang batas parlementer, Grace Natalie berani
mengutarakan dengan segala resikonya bahwa partainya menolak perda syariah.
Padahal, jika melihat mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam, tentu
akan membawah pengaruh terhadap jumlah perolehan suara untuk PSI.
Fuad Ginting,
Ketua PSI Sumut, menyatakan bahwa terkait ada atau tidak yang mendukung karena
stateman PSI merupakan hal yang wajar. Diransil dari Republika.co.id, Grace
Natalie menjelaskan bahwa penolakan perda religi dilakukan untuk mengembalikan
agama pada khittahnya yang mulia, bukan karena berniat menjelekkan agama mana
pun.
Keberanian PSI
mengutarakan pernyataan tersebut patut dicontoh oleh umat Islam. “Qulil
haqqa wa lau kaana murran (katakanlah kebenaran walaupun itu pahit),”
nampaknya berhasil diamalkan oleh PSI. Melihat keberanian tersebut, seharusnya
umat Islam juga tidak boleh kalah dalam mempertahankan sesuatu yang menurut
umat Islam benar.
Al-Quran
sebagai pedoman hidup umat Islam sudah memerintahkan agar umat Islam
mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Namun, dewasa ini, dapat
dilihat masih banyak umat Islam yang berstatus Islam KTP saja. Ajaran-ajaran
yang ditetapkan oleh agama belum mampu dijalankan oleh umat Islam.
Untuk itu,
pelegalan aturan-aturan syariah tentu tidak ada salahnya. Lagi pula jika nanti
telah ditetapkan sebagai peraturan daerah syariah, hanya umat Islam saja yang
akan melaksanakan aturan tersebut. Lantas ketika aturan tersebut hanya mengikat
kepada orang yang meyakini Islam saja, dimana unsur kesalahan atas pelegalan
aturan-aturan syariah.
Tanggapan Pancasila
Membuminya
informasi tentang penolakan perda syariah, sebagai negara hukum, secara tidak
langsung mengajak masyarakat untuk melihat kembali konstitsusi Negara
Indonesia. Ketika melihat Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebgai
konsitutsi negara, telah terlihat jelas bahwa nilai-nilai agama menjadi acuan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam
Pancasila, terdapat pada Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan, jika
melihat kembali sejarah perumusan Pancasila, maka dapat dipahami bahwa awalnya
beberapa founding fathers ingin menerapkan aturan-aturan syariah
tersebut. Terbukti, diksi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya” pernah menjadi kalimat pelengkap pada rancangan sila pertama
Pancasila saat itu.
Secara
eksplisit juga dapat ditemukan dalam UUD 1945. Pasal 29 yang menyatakan negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan jaminan kebebasam beragama. Pasal 28
J menegaskan bahwa hak asasi manusi tidak boleh bertentangan dengan nilai
agama. Begitu pun dengan pasal 31 tentang visi pendidikan nasional untuk
menghasilkan Sumber Daya Manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Dari sini
dapat dipahami bahwa pembuatan perarutan-peraturan daerah dan undang-undang
tidak hanya menyerap nilai agama, tetapi wajib mengambil nilai-nilai tersebut.
Itulah alasan lahirlah UU Peradilan Agama, UU Haji, UU Zakat, UU Perbankan
Syariah, dan UU Jaminan Produk Halal serta aturan-aturan yang lain.
Berdasarkan
pemaparan di atas dapat dipahami bahwa Pancasila dan juga UUD 1945 tidak bertentangan
dengan peraturan-peraturan syariah. Untuk itu, marilah kita tetap menjaga
semangat Pancasila dan UUD 1945. Sebagai Bangsa Indonesia, marilah bersama-sama
menjaga kekokohan semangat keberagaman di Republik Indonesia. Wa Allah a’lam
bi al-shawaab.*
*Kodrat Alamsyah, Kabid PTKP HMI Komisariat Syariah dan Sekretaris Jendral Center for Democracy and Religius Studies (CDRS) Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar