Oleh: Saiful Anwar
Mahasiswa
Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Semarang & Santri di Rumah Perkaderan
Mohammad Nasih Institute
Setelah merayakan hari kemerdekaan, tepat
seminggu yang lalu, Indonesia memperingati hari maritim nasional. Sebagai
bentuk partisipatif, sudah menjadi kewajibkan bagi seluruh masyarakat untuk
berperan aktif dalam pembangunan di sektor kemaritiman.
Apapun bentuk partisipasinya, yang terpenting
mampu memberikan dampak kemajuan bagi ekonomi maritim Indonesia. Atinya, tetap dalam aturan dan
prinsip yang berlaku.
Indonesia telah menyandang status sebagai
negara yang memiliki garis terpanjang kedua di dunia. Namun, pemanfaatan sektor
kemaritiman sampai sejauh ini dinilai masih sangat minim.
Rendahnya pemanfaatan tersebut dapat dilihat
dari sumbangan sektor kemaritiman dan kelautan terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) masih sangat rendah dibandingkan sektor-sektor lainnya. Sampai sejauh
ini, sektor maritim hanya sanggup menyumbang sekitar 4 persen saja terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional.
Sebuah hasil yang berbanding terbalik dengan
isi perut di poros maritim. Dengan perairan laut seluas 5,8 juta Km persegi
atau seluas 2/3 dari total yuridiksi nasional yang mencapai 7,73 juta km2, laut
yang luas berisi sumber hayati dan non-hayati, terlebih perairan Indonesia yang
dikenal sebagai Hot- spot untuk marine biodiversity, seharusnya kemajuan di
sektor maritim bertambah pesat.
Pun, dengan segala potensi yang ada, sektor
kemaritiman bisa memenuhi segala kebutuhan, terutama dari sektor perikanan dan
kelautan.
Pengembangan ekonomi yang berfokus pada inti dari kekayaan diri
sendiri, identitas diri sendiri, dan berdiri di atas kaki sendiri adalah ekonomi nafas dalam. Melalui konsep ekonomi nafas dalam, idiom Islam menyebutnya dengan
konsep ekonomi yang kaffah. Kaffah berarti menyeluruh, maksimal
dan total (komperehensif). Ibarat sebuah kurva, kaffah adalah lingkaran
sempurna (Cak Nun:2009).
Pada realitasnya, bahwa aktivitas laut adalah
salah satu inti dari peradaban, selain pertanian sebagai aktivitas bercocok
tanam di Indonesia. Hasil isi laut yang dalam bentang teritoris Indonesia
adalah kekayaan negeri sendiri.
Sebuah bentuk identitas bangsa, dan perlu dan
harus dikelola dan dikembangkan dengan berdikari. Seperti nafas yang berperan
dalam laku hidupnya makhluk. Ekonomi nafas dalam berperan membangun poros ekonomimelalui inti dari identitas bangsa sendiri. Dan
hasilnya mampu memberikan kesejahteraan yang merata kepada masyarakat.
Melalui konsep ekonomi nafas dalam, upaya pemanfaatan secara optimal di
bidang maritim harus digalakkan sedini mungkin. Hal ini untuk mewujudkan
identitas Indonesia sebagai negara maritim yang kuat. Wilayah Indonesia terdiri
dari 70% lautan dengan potensi ekonomi di dalamnya.
Melalui potensi poros maritim yang besar
tersebut, dapat dicatat salah satu upaya yang bisa diproyeksikan dalam
mengoptimalkan sektor maritim adalah meningkatkan kontribusi sektor kelautan,
baik untuk kesejahteraan masyarakat umum, khususnya untuk kesejahteraan nelayan
itu sendiri.
Langkah kerja yang pertama adalah menaikkan
Nilai Tukar Petani (NTP) melalui peningkatkan hasil tangkap nelayan. Bentuk
kenaikan NTP di berbagai wilayah maritim harus berbanding lurus dengan hasil
tangkap ikan dan harga ikan yang cenderung stabil dan membaik. Langkah tersebut
perlu dibarengi dengan upaya pemerintah untuk memperkuat infrastruktur dan sarana
prasana pendukung perikanan laut atau tangkap, seperti SPBU nelayan dan
teknologi pendukung.
Terkait teknologi, dalam waktu mendatang,
pemerintah harus berupaya keras dalam memberikan sumbangsih kepada nelayan
tentang teknologi penangkapan ikan, terutama bagi nelayan tradisional agar
mereka tahu lokasi yang tepat dalam menangkap ikan. Hal ini, bisa dinilai lebih
efektif dan efesien. Selain itu, nelayan tidak perlu berkeliling laut untuk
mencari di mana ikan itu berkumpul dan tentunya bisa menghemat penggunaan bahan
bakar. Contohnya, di negara-negara maju seperti China, para nelayan telah
dimodali dengan teknologi canggih dalam menangkap ikan.
Selain itu, pemerintah pusat juga harus fokus
dalam memberikan perlindungan terhadap nelayan. Pada program perlindungan
nelayan melalui Bantuan Premi Asuransi bagi Nelayan (BPAN) atau asuransi
nelayan, pemerintah diharuskan mensosialisasikan kepada pemerintah di bawahnya.
Sehingga agar cepat untuk dilaksanakan dan lebih responsif terhadap kebutuhan
masyarakat.
Sebab, fakta di masyarakat nelayan tidak
semua tau dengan program asuransi. Keberdaan asuransi nelayan sangat bermanfaat
bagi masyarakat harus segera untuk direalisasikan. Salah satu keuntungan bagi
nelayan antara lain, dibayarkan premi oleh pemerintah pusat, memperoleh
santunan baik karena kecelakaan atau kematian. Di sisi lain, masyarakat
memiliki satu aspek penting perlindungan terhadap keselamatan, jiwa dan
pekerjaan mereka.
Untuk melengkapi program pemerintah pusat di
atas, setiap pemerintah provinsi harus memberikan perlindungan berupa asuransi
yang dikemas dalam bentuk saran yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan,
yakni armada penangkapan ikan. Baik berukuran besar, sedang, maupun kecil.
Begitu juga dengan bantuan alat-alat untuk menangkap ikan.
Berkaitan dengan hal itu, pemerintah dalam
memberikan asuransi armada harus disertai dengan penataan dan pendataan.
Program pendataan dilakukan untuk mengetahu jumlah dan menghitung potensi
penangkapan ikan. Sedangkan penataan, dilaksanakan agar armada penangkapan ikan
memiliki kelayakan untuk diansurasikan. Berharap, melalui program asusransi
jiwa oleh pemerintah pusaat dan asuransi armada tangkap ikan oleh pemerintah
provinsi, resiko yang dihadapi nelayan dapat dikurangi dan hasil tangkap bisa
meningkat.
Di atas adalah konsep ekonomi nafas dalam yang perlu dilakukan oleh pemerintah.
Dengan mengoptimalkan inti kekayaan negeri. Nenek moyang bangsa Indonesia
dahulu adalah seorang pelaut, harapan mereka adalah bahwa potensi laut harus
dikelola dengan baik dan seoptimal mungkin. Tak perlu takut miskin, sebab laut
cukup untuk menghidupimu. Wa Allahu a’lam Bi al Showamb.
Sumber :www.jateng.tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar