Tertangkapnya
dua artis tanah air yang terlibat dalam skandal prostitusi online awal Januari
lalu membuka tabir tentang berseminya kejahatan di dunia hiburan. Skandal
demikian setidaknya menunjukkan tentang realitas prostitusi yang kembali hadir
dengan varian-varian baru, setelah pola-pola lama terbongkar dengan segala
sistem yang dimilikinya. Karena itulah, digitalisasi prostitusi yang disebabkan
karena hancurnya prostitusi yang berbasis offline, seolah mendapatkan lahan
baru yang berfungsi untuk menumbuh kembangkan dunia prostitusi. Perkembangan
zaman yang ditengarai dengan berkembang biaknya teknologi menjadi jalan yang
mengarahkan pergerakan offline menuju online. Termasuk dunia prostitusi
sekalipun, telaah tentang jual-beli (diri) juga mengalami pengembangan yang
berujung pada ranah digitalisasi.
Dalam konteks ini, Cand. Dr. Mohammad Noor mengatakan
bahwa prostitusi online adalah kegiatan menawarkan jasa pelayanan seksual
melalui dunia digital dengan kesepakatan kompensasi tertentu yang bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan biologis. Senafas dengan itu, Gabriel Tarde (1978)
juga mengatakan bahwa prostitusi adalah kejahatan tanpa korban (Crime
without victim). Karena secara nyata antara pemberi jasa (pemenuhan
seksual) dan penerima jasa (pemberian kompensasi) sama-sama diuntungkan,
sehingga secara nyata menunjukkan ketiadaan korban di dalamnya. Mengingat tidak
adanya korban dalam kejahatan ini, hingga akhirnya menyebabkan kejahatan
prostitusi di beberapa negara tidak secara spesifik diatur dalam dunia hukum,
meski juga tidak serta merta melegalkannya (Baca: Menyoal Kejahatan Protitusi
Online). Beranjak dari adanya kenyataan itulah, perdebatan hukum tentang bisa
dijerat atau tidaknya skandal prostitusi online menjadi perihal riskan yang
harus diselesaikan dengan segera.
Sebab sesuai dengan norma-norma yang menjadi landasan
tentang terbentuknya sebuah hukum. Maka, prostitusi online secara sadar telah
bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dijunjung tinggi oleh masyarakat
Indonesia. Dengan kata lain, meski dalam beragam bentuk belum ada undang-undang
yang secara spesifik mengatur tentang prostitusi online. Namun, secara terbuka
tentu tindakan prostitusi online sudah bertentangan dengan nilai moral
masyarakat. Karena itulah, E. A. Ross (1866-1951) mengatakan bahwa hukum akan
mempertahankan model kehidupan sosial yang ada, khususnya kehidupan sosial yang
dianggap baik dan diterima oleh mayoritas masyarakat, sehingga hukum akan
cenderung menjadi tampilan alat kontrol sosial yang bersifat konservatif.
Terlepas dari perihal demikian, sesungguhnya
perdebatan hukum yang berada di ranah prostitusi online memang menjadi
kenyataan logis, karena tidak ada undang-undang yang secara ketat mengatur
tentang hal ikhwal dunia prostitusi. Melalui itu, sangat wajar apabila
perdebatan hukum pada akhirnya memunculkan varian-varian baru yang digunakan
untuk menjawab tantangan zaman. Sebab itulah, upaya untuk melakukan revitalisasi
sebagai jawaban-jawaban atas problematika kontemporer, harus digelar secara
kongkrit dengan melihat tatanan sosial yang diterima masyarakat. Philippe Nonet
dan Philip Selznik juga pernah mengatakan bahwa adanya problematika baru dalam
konteks perubahan sosial memerlukan hukum responsif yang berguna untuk menjawab
perubahan sosial dengan cara mendorong instrumen-instrumen hukum yang lebih
dinamis dalam menata kehidupan di masa mendatang (Abdul Ghafur Sangadji: 2019).
Ius Constituendum
Kebutuhan hukum responsif sebagaimana dikatakan oleh
Philippe Nonet dan Philip Selznik memang tidak akan pernah habis untuk
diperbincangkan. Sebab telaah tentang perubahan sosial adalah kausalitas yang
senantiasa berkembang melalui kemajuan peradaban dan juga ilmu pengetahuan.
Berdasar pada area perubahan yang tak pernah bisa dinafikan sebagaimana adanya
prostitusi online saat ini, tentu saja hukum akan selalu diuji dengan
varian-varian baru yang memungkinkan tidak adanya penjerat bagi hukum-hukum di
masa mendatang. Hanya saja, apabila melihat kebutuhan hukum yang berbasis ius
constituendum (masa depan), maka perubahan-perubahan hukum sebagai
respon adanya term-term baru harus selalu diupayakan agar tak menjadi beban
atas tumpang tindihnya kejahatan demikian.
Tata kelola perubahan sosial yang memungkinkan
kejahatan lama untuk bersemi dan berevolusi memang sepintas memerlukan beragam
upaya untuk mengendalikannya. Hanya saja, evolusi-evolusi kejahatan tersebut
juga pada dasarnya memiliki hukum asal yang tak akan pernah berubah, meski
dengan tuanya zaman sekalipun. Dengan kata lain, sesungguhnya apabila terdapat
perdebatan hukum tentang perlunya hukum baru untuk menjerat kasus prostitusi
online, maka sesungguhnya perbuatan demikian telah mendapatkan hukuman dari
ranah masyarakat—berupa cemoohan (dalam konteks kesusialaan) dan dosa (dalam
konteks keagamaan). Meski dalam hukum negara yang bersumber dari KUHP dan di
luar KUHP memunculkan perdebatan hukum tentang dijerat atau tidaknya prostitusi
online. Namun, perdebatan demikian setidaknya telah memberikan pelajaran
berharga yang mesti dipetik saripatinya.
Sebab perdebatan hukum tentang bisa atau tidaknya
pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) yang diganti menjadi UU No. 19 tahun 2016 untuk menjerat kejahatan
prostitusi online, maka akan menunjukkan bahwa prinsip kepastian hukum semakin
jauh dari harapan. Pasalnya, prinsip kepastian hukum yang berwujud lex
scripta (hukum harus tertulis), lex stricta (harus
ditafsirkan seperti yang dibaca), dan lex certa (tidak multi
tafsir) telah jauh dari harapan (Machteld Boot: 2001). Karena itulah, hukum
responsif sebagaimana yang dibahas dimuka, harus mencerminkan prinsip kepastian
hukum demikian. Karena apabila hukum tidak mencerminkan prinsip tersebut, maka
hukum akan mengalami ketumpangtindihan dan berujung pada ketidakadilan hukum.
Berangkat dari kenyataan itulah, hukum tindak pidana
prostitusi dalam sistem ius constituendum harus memiliki
kepastian hukum sehingga tidak ada ruang-ruang untuk melakukan pnafsiran pasal.
Hal ini disebabkan karena apabila prinsip tersebut tidak dipenuhi, maka akan
menyebabkan proses penegakan hukum tidak akan bisa mewujudkan
keinginan-keinginan hukum itu sendiri (Satjipto Rahardjo: 1983). Selain itu,
telaah tentang perdebatan hukum yang terjadi saat ini setidaknya memberikan
pelajaran tentang pentingnya ijtihad baru sebagai responsifitas hukum terhadap
beragam tindakan yang mengarah pada perubahan sosial. Dengan adanya
ijtihad-imjtihad baru demikian, setidaknya akan membuat hukum memiliki taji,
tidak gagap dalam menangani persoalan zaman yang semakin rumit untuk menegakkan
keadilan. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Oleh: Moh Nurul Huda, Pengajar di Monash Institute dan Mahasiswa
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
Sumber :www.militan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar