Mereduksi Dikitalisasi Prostitusi - HMI Komisariat Syariah Walisongo Semarang

Breaking

Jumat, 01 Februari 2019

Mereduksi Dikitalisasi Prostitusi




Tertangkapnya dua artis tanah air yang terlibat dalam skandal prostitusi online awal Januari lalu membuka tabir tentang berseminya kejahatan di dunia hiburan. Skandal demikian setidaknya menunjukkan tentang realitas prostitusi yang kembali hadir dengan varian-varian baru, setelah pola-pola lama terbongkar dengan segala sistem yang dimilikinya. Karena itulah, digitalisasi prostitusi yang disebabkan karena hancurnya prostitusi yang berbasis offline, seolah mendapatkan lahan baru yang berfungsi untuk menumbuh kembangkan dunia prostitusi. Perkembangan zaman yang ditengarai dengan berkembang biaknya teknologi menjadi jalan yang mengarahkan pergerakan offline menuju online. Termasuk dunia prostitusi sekalipun, telaah tentang jual-beli (diri) juga mengalami pengembangan yang berujung pada ranah digitalisasi.
Dalam konteks ini, Cand. Dr. Mohammad Noor mengatakan bahwa prostitusi online adalah kegiatan menawarkan jasa pelayanan seksual melalui dunia digital dengan kesepakatan kompensasi tertentu yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan biologis. Senafas dengan itu, Gabriel Tarde (1978) juga mengatakan bahwa prostitusi adalah kejahatan tanpa korban (Crime without victim). Karena secara nyata antara pemberi jasa (pemenuhan seksual) dan penerima jasa (pemberian kompensasi) sama-sama diuntungkan, sehingga secara nyata menunjukkan ketiadaan korban di dalamnya. Mengingat tidak adanya korban dalam kejahatan ini, hingga akhirnya menyebabkan kejahatan prostitusi di beberapa negara tidak secara spesifik diatur dalam dunia hukum, meski juga tidak serta merta melegalkannya (Baca: Menyoal Kejahatan Protitusi Online). Beranjak dari adanya kenyataan itulah, perdebatan hukum tentang bisa dijerat atau tidaknya skandal prostitusi online menjadi perihal riskan yang harus diselesaikan dengan segera.
Sebab sesuai dengan norma-norma yang menjadi landasan tentang terbentuknya sebuah hukum. Maka, prostitusi online secara sadar telah bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, meski dalam beragam bentuk belum ada undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang prostitusi online. Namun, secara terbuka tentu tindakan prostitusi online sudah bertentangan dengan nilai moral masyarakat. Karena itulah, E. A. Ross (1866-1951) mengatakan bahwa hukum akan mempertahankan model kehidupan sosial yang ada, khususnya kehidupan sosial yang dianggap baik dan diterima oleh mayoritas masyarakat, sehingga hukum akan cenderung menjadi tampilan alat kontrol sosial yang bersifat konservatif.
Terlepas dari perihal demikian, sesungguhnya perdebatan hukum yang berada di ranah prostitusi online memang menjadi kenyataan logis, karena tidak ada undang-undang yang secara ketat mengatur tentang hal ikhwal dunia prostitusi. Melalui itu, sangat wajar apabila perdebatan hukum pada akhirnya memunculkan varian-varian baru yang digunakan untuk menjawab tantangan zaman. Sebab itulah, upaya untuk melakukan revitalisasi sebagai jawaban-jawaban atas problematika kontemporer, harus digelar secara kongkrit dengan melihat tatanan sosial yang diterima masyarakat. Philippe Nonet dan Philip Selznik juga pernah mengatakan bahwa adanya problematika baru dalam konteks perubahan sosial memerlukan hukum responsif yang berguna untuk menjawab perubahan sosial dengan cara mendorong instrumen-instrumen hukum yang lebih dinamis dalam menata kehidupan di masa mendatang (Abdul Ghafur Sangadji: 2019).
Ius Constituendum
Kebutuhan hukum responsif sebagaimana dikatakan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznik memang tidak akan pernah habis untuk diperbincangkan. Sebab telaah tentang perubahan sosial adalah kausalitas yang senantiasa berkembang melalui kemajuan peradaban dan juga ilmu pengetahuan. Berdasar pada area perubahan yang tak pernah bisa dinafikan sebagaimana adanya prostitusi online saat ini, tentu saja hukum akan selalu diuji dengan varian-varian baru yang memungkinkan tidak adanya penjerat bagi hukum-hukum di masa mendatang. Hanya saja, apabila melihat kebutuhan hukum yang berbasis ius constituendum (masa depan), maka perubahan-perubahan hukum sebagai respon adanya term-term baru harus selalu diupayakan agar tak menjadi beban atas tumpang tindihnya kejahatan demikian.
Tata kelola perubahan sosial yang memungkinkan kejahatan lama untuk bersemi dan berevolusi memang sepintas memerlukan beragam upaya untuk mengendalikannya. Hanya saja, evolusi-evolusi kejahatan tersebut juga pada dasarnya memiliki hukum asal yang tak akan pernah berubah, meski dengan tuanya zaman sekalipun. Dengan kata lain, sesungguhnya apabila terdapat perdebatan hukum tentang perlunya hukum baru untuk menjerat kasus prostitusi online, maka sesungguhnya perbuatan demikian telah mendapatkan hukuman dari ranah masyarakat—berupa cemoohan (dalam konteks kesusialaan) dan dosa (dalam konteks keagamaan). Meski dalam hukum negara yang bersumber dari KUHP dan di luar KUHP memunculkan perdebatan hukum tentang dijerat atau tidaknya prostitusi online. Namun, perdebatan demikian setidaknya telah memberikan pelajaran berharga yang mesti dipetik saripatinya.
Sebab perdebatan hukum tentang bisa atau tidaknya pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diganti menjadi UU No. 19 tahun 2016 untuk menjerat kejahatan prostitusi online, maka akan menunjukkan bahwa prinsip kepastian hukum semakin jauh dari harapan. Pasalnya, prinsip kepastian hukum yang berwujud lex scripta (hukum harus tertulis), lex stricta (harus ditafsirkan seperti yang dibaca), dan lex certa (tidak multi tafsir) telah jauh dari harapan (Machteld Boot: 2001). Karena itulah, hukum responsif sebagaimana yang dibahas dimuka, harus mencerminkan prinsip kepastian hukum demikian. Karena apabila hukum tidak mencerminkan prinsip tersebut, maka hukum akan mengalami ketumpangtindihan dan berujung pada ketidakadilan hukum.
Berangkat dari kenyataan itulah, hukum tindak pidana prostitusi dalam sistem ius constituendum harus memiliki kepastian hukum sehingga tidak ada ruang-ruang untuk melakukan pnafsiran pasal. Hal ini disebabkan karena apabila prinsip tersebut tidak dipenuhi, maka akan menyebabkan proses penegakan hukum tidak akan bisa mewujudkan keinginan-keinginan hukum itu sendiri (Satjipto Rahardjo: 1983). Selain itu, telaah tentang perdebatan hukum yang terjadi saat ini setidaknya memberikan pelajaran tentang pentingnya ijtihad baru sebagai responsifitas hukum terhadap beragam tindakan yang mengarah pada perubahan sosial. Dengan adanya ijtihad-imjtihad baru demikian, setidaknya akan membuat hukum memiliki taji, tidak gagap dalam menangani persoalan zaman yang semakin rumit untuk menegakkan keadilan. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Oleh: Moh Nurul Huda, Pengajar di Monash Institute dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages