Mencari Pemimpin "Penolong" - HMI Komisariat Syariah Walisongo Semarang

Breaking

Sabtu, 02 Februari 2019

Mencari Pemimpin "Penolong"


“Dengan uang, kita dapat membantu banyak orang, namun jumlahnya sangat terbatas. Sementara dengan kekuasaan, kita dapat menolong banyak orang, bahkan jangkauannya bisa sangat luas”
Demikianlah, petuah dari Dr. Mohammad Nasih—dosen ilmu politik pasca sarjana UI—tentang pentingnya sebuah kekuasaan. Kekuasan akan bermanfaat dan berguna, jika digunakan dengan baik dan benar. Akan tetapi sebaliknya, jika kekuasaan digunakan sewenang-wenang, maka akan menimbulkan kehancuran sebuah negara. Maka tidak heran, jika Najwa Shihab pernah mengatakan, bahwa “Kekuasaan bukan untuk digenggam, melainkan untuk digunakan”.
Di zaman millenial sekarang, kekuasaan hanya dijadikan sebagai alat pemuas nafsu belaka, tanpa melihat dan mementingkan masyarakat miskin sekitar. Hal ini dapat dilihat dari maraknya praktik korupsi di bumi pertiwi ini. Sebut saja di Jawa Tengah, dari tahun 1999-2017 setidaknya terdapat 32 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi (Tribun Jateng: 25 Sepetember 2017).
Sejak tahun 2000, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) telah mengamankan 522 politikus yang terjebak dalam kubangan korupsi. Sedangkan 300 orang di antarnya merupakan pemegang jabatan publik (Koran Tempo: 11 Desember 2018). Hal ini harus menjadi evaluasi bersama. Jika hal demikian dibiarkan, maka akan mengakiatkan berbagai permasalahan, di antaranya adalah kesenjangan sosial, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menurun, sehingga akan mencidrai sistem demokrasi.
Menurut Ahmad Asrori—peneliti di lembaga pendidikan Darul Makmur Semarang—, penyebab manusia melakukan korupsi memiliki berbagai macam faktor. Pertama, faktor kebutuhan ekonomi. Fator ekonomi menjadi penyebab yang kuat dalam mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang senonoh ini. Biasanya faktor ini dibarengi oleh sifat tamak, artinya merasa kurang terus khususnya dalam memenuhi nafsu, tidak mensukuri nikmat Tuhan yang telah diberikan kepadanya.
Misalnya, sudah memiliki pakaian, makanan, dan kendaraan yang cukup, tapi ketika melihat teman atau orang lain memiliki hal lebih darinya, dia ingin lebih dari orang tersebut, atau setidaknya sepadan. Padahal penghasilanya tidak cukup untuk melakukan itu. Nah, inilah yang menyebabkan menghalalkan segala cara, asalkan hasratnya terpenuhi.
Kedua, faktor politik. Tidak bisa kita pugkiri, bahwa faktor politik juga memiliki kekuatan tersendiri untuk mendorong orang melakukan korupsi. Misalnya, pejabat menyogok kepala daerah agar dia medapat posisi yang strategis. Dan inilah yang semakin memupuk benih korupsi di bumi pertiwi.
Faktor tersebut biasanya didukung oleh adanya kesempatan dalam sebuah situasi. Seperti yang kita ketahui, bahwa pejabat negara pasti memiliki anggaran untuk progam kegiatan mereka. Bahkan, semakin besar kegiatan, maka akan semakin besar pula angarannya. Peluang inilah yang biasanya digunakan untuk melakukan korupsi. Lebih parah lagi, jika kegiatan tersebut tidak terlaksan, maka hal ini sangat disayangkan sekali.
Ketiga, faktor pengawasan yang lemah. Lemahnya sistem pengawasan menjadi faktor yang cukup kuat untuk memotifasi manusia dalam melakukan praktik korupsi. Sebut saja lemanya pengawasan di ranah penggunaan anggaran oleh pejabat negara. Meskipun Indonesia memiliki KPK, tetapi masifnya praktik korupsi dari tahun ke tahu menjadi problematika yang cukup berat untuk dihapuskan.

Pemimpin Penolong

Dan katakanlah (Muhamad), Ya Tuhan-ku, masukanlah aku secara masuk yangbenar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (QS.Al-Isra’: 866)
Demikianlah, penggalan ayat suci al-Quran tentang pentinnya menggunakan kekuasan atau jabatan untuk menolong orang yang tertindas, terdzlmi, dan mewujudakan keadilan sesama manusia. Maka, tidak heran jika Nasih berpendapat, bahwa kekuasaan harus digunakan untuk menolong, bukan untuk nyolong—mencuri—uang rakyat.
Tahun 2019 sebentar lagi, berarti Indonesia akan memasuki tahun politik. Sebab, pada tahun tersebut akan terjadi kontes politik tertinggi di Indonesia, yaitu pemilihan Presiden dan pejabat legislatif. Maka dari itu, masyarakat Indoneisa harus menentukan kriteria pemimpin di masa yang akan datang, agar dapat menolong orang tertindas dan terzlimi.
Lantas, pertanyaanya adalah syarat atau indikator pemimpin apa saja yang harus diperhatikan saat memilih pemimpin nanti? Dalam konteks ini, setidaknya ada dua syarat yang harus ada. Pertama, shalih (baik) dan mushlih (mampu meperbaiki). Indonesia butuh orang-orang yang mampu memperbaiki tatanan masyarakat, sebab banyak orang baik tapi tidak sanggup dalam memperbaiki tatatan masyarakat. Sebut saja tokoh agama yang dianggap sebagai orang baik, belum tentu bisa membasmi koruptor yang ada di bumi pertiwi ini, khusunya lingkungan sekitarnya.
Kedua, tidak memiliki cacat yang fatal di masa lalu. Cacat di sini dapat diartikan pernah melakuan korupsi dan kecurangan. Tidak bisa kita pungkiri, bahwa pemimpin yang lahir dari proses baik, maka saat terpilih akan bertindak baik. Begitu pula sebaliknya, jika dalam pemilihanya lahir dari proses yang tidak sehat, maka akan berimbas pada idealismenya, sehingga saat menjadi pemimpin yang di kedepankan adalah kepentingan pribadi dan keompok kecil, bukan kepentingan Bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Maka dari itu, di tahun politik 2019 mendatang, seluruh masyarakat Indonesia harus memilah dan memilih calon yang akan dipilih dengan selektif. Sudah saatnya Bangsa Idonesia sadar bahwa memilih atau mencblos merupakan kewajiban, sehingga masyarakat tidak tergiur oleh uang “panas”. Dengan demikian, impian memiliki pemimpin “penolong” dapat teralisas sehinga Indonesia bisa menjadi lebih baik. Wallahu a’lam bi al-shawaab.
Oleh: Ahmad Asrori, Ketua GPII di Lingkup Jawa Tengah dan Peneliti di Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages