“Dengan uang, kita dapat
membantu banyak orang, namun jumlahnya sangat terbatas. Sementara dengan
kekuasaan, kita dapat menolong banyak orang, bahkan jangkauannya bisa sangat
luas”
Demikianlah, petuah dari Dr.
Mohammad Nasih—dosen ilmu politik pasca sarjana UI—tentang pentingnya sebuah kekuasaan.
Kekuasan akan bermanfaat dan berguna, jika digunakan dengan baik dan benar.
Akan tetapi sebaliknya, jika kekuasaan digunakan sewenang-wenang, maka akan
menimbulkan kehancuran sebuah negara. Maka tidak heran, jika Najwa Shihab
pernah mengatakan, bahwa “Kekuasaan bukan untuk digenggam, melainkan untuk
digunakan”.
Di zaman millenial sekarang,
kekuasaan hanya dijadikan sebagai alat pemuas nafsu belaka, tanpa melihat dan
mementingkan masyarakat miskin sekitar. Hal ini dapat dilihat dari maraknya
praktik korupsi di bumi pertiwi ini. Sebut saja di Jawa Tengah, dari tahun
1999-2017 setidaknya terdapat 32 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi
(Tribun Jateng: 25 Sepetember 2017).
Sejak tahun 2000, Komisi
Pemberantas Korupsi (KPK) telah mengamankan 522 politikus yang terjebak dalam
kubangan korupsi. Sedangkan 300 orang di antarnya merupakan pemegang jabatan
publik (Koran Tempo: 11 Desember 2018). Hal ini harus menjadi evaluasi bersama.
Jika hal demikian dibiarkan, maka akan mengakiatkan berbagai permasalahan, di
antaranya adalah kesenjangan sosial, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
menurun, sehingga akan mencidrai sistem demokrasi.
Baca
Juga: Revitalisasi
Kepemimpinan Profetik
Menurut Ahmad Asrori—peneliti
di lembaga pendidikan Darul Makmur Semarang—, penyebab manusia melakukan
korupsi memiliki berbagai macam faktor. Pertama, faktor
kebutuhan ekonomi. Fator ekonomi menjadi penyebab yang kuat dalam mendorong
manusia untuk melakukan tindakan yang senonoh ini. Biasanya faktor ini
dibarengi oleh sifat tamak, artinya merasa kurang terus khususnya dalam
memenuhi nafsu, tidak mensukuri nikmat Tuhan yang telah diberikan kepadanya.
Misalnya, sudah memiliki
pakaian, makanan, dan kendaraan yang cukup, tapi ketika melihat teman atau
orang lain memiliki hal lebih darinya, dia ingin lebih dari orang tersebut,
atau setidaknya sepadan. Padahal penghasilanya tidak cukup untuk melakukan itu.
Nah, inilah yang menyebabkan menghalalkan segala cara, asalkan hasratnya
terpenuhi.
Kedua, faktor
politik. Tidak bisa kita pugkiri, bahwa faktor politik juga memiliki kekuatan
tersendiri untuk mendorong orang melakukan korupsi. Misalnya, pejabat menyogok
kepala daerah agar dia medapat posisi yang strategis. Dan inilah yang semakin
memupuk benih korupsi di bumi pertiwi.
Faktor tersebut biasanya
didukung oleh adanya kesempatan dalam sebuah situasi. Seperti yang kita
ketahui, bahwa pejabat negara pasti memiliki anggaran untuk progam kegiatan
mereka. Bahkan, semakin besar kegiatan, maka akan semakin besar pula
angarannya. Peluang inilah yang biasanya digunakan untuk melakukan korupsi.
Lebih parah lagi, jika kegiatan tersebut tidak terlaksan, maka hal ini sangat
disayangkan sekali.
Ketiga, faktor
pengawasan yang lemah. Lemahnya sistem pengawasan menjadi faktor yang cukup
kuat untuk memotifasi manusia dalam melakukan praktik korupsi. Sebut saja
lemanya pengawasan di ranah penggunaan anggaran oleh pejabat negara. Meskipun
Indonesia memiliki KPK, tetapi masifnya praktik korupsi dari tahun ke tahu
menjadi problematika yang cukup berat untuk dihapuskan.
Pemimpin Penolong
“Dan
katakanlah (Muhamad), Ya Tuhan-ku, masukanlah aku secara
masuk yangbenar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan
berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (QS.Al-Isra’:
866)
Demikianlah, penggalan ayat
suci al-Quran tentang pentinnya menggunakan kekuasan atau jabatan untuk
menolong orang yang tertindas, terdzlmi, dan mewujudakan keadilan sesama
manusia. Maka, tidak heran jika Nasih berpendapat, bahwa kekuasaan harus
digunakan untuk menolong, bukan untuk nyolong—mencuri—uang
rakyat.
Tahun 2019 sebentar lagi,
berarti Indonesia akan memasuki tahun politik. Sebab, pada tahun tersebut akan
terjadi kontes politik tertinggi di Indonesia, yaitu pemilihan Presiden dan
pejabat legislatif. Maka dari itu, masyarakat Indoneisa harus menentukan kriteria
pemimpin di masa yang akan datang, agar dapat menolong orang tertindas dan
terzlimi.
Lantas, pertanyaanya adalah syarat atau indikator pemimpin apa
saja yang harus diperhatikan saat memilih pemimpin nanti? Dalam konteks ini,
setidaknya ada dua syarat yang harus ada. Pertama, shalih
(baik) dan mushlih (mampu meperbaiki). Indonesia butuh orang-orang yang mampu
memperbaiki tatanan masyarakat, sebab banyak orang baik tapi tidak sanggup
dalam memperbaiki tatatan masyarakat. Sebut saja tokoh agama yang dianggap
sebagai orang baik, belum tentu bisa membasmi koruptor yang ada di bumi pertiwi
ini, khusunya lingkungan sekitarnya.
Kedua, tidak
memiliki cacat yang fatal di masa lalu. Cacat di sini dapat diartikan pernah
melakuan korupsi dan kecurangan. Tidak bisa kita pungkiri, bahwa pemimpin yang
lahir dari proses baik, maka saat terpilih akan bertindak baik. Begitu pula
sebaliknya, jika dalam pemilihanya lahir dari proses yang tidak sehat, maka
akan berimbas pada idealismenya, sehingga saat menjadi pemimpin yang di
kedepankan adalah kepentingan pribadi dan keompok kecil, bukan kepentingan
Bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Maka dari itu, di tahun
politik 2019 mendatang, seluruh masyarakat Indonesia harus memilah dan memilih
calon yang akan dipilih dengan selektif. Sudah saatnya Bangsa Idonesia sadar
bahwa memilih atau mencblos merupakan kewajiban, sehingga masyarakat tidak
tergiur oleh uang “panas”. Dengan demikian, impian memiliki pemimpin “penolong”
dapat teralisas sehinga Indonesia bisa menjadi lebih baik. Wallahu
a’lam bi al-shawaab.
Oleh:
Ahmad Asrori, Ketua
GPII di Lingkup Jawa Tengah dan Peneliti di Lembaga Studi Agama dan
Nasionalisme (LeSAN)
Sumber :www.militan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar