Memanusiakan manusia - HMI Komisariat Syariah Walisongo Semarang

Breaking

Sabtu, 09 Februari 2019

Memanusiakan manusia

Abdurrahman Syafrianto

Manusia merupakan makhluk yang berkebutuhan. Dalam konteks intensitas, kebutuhan manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu kebutuhan primer, skunder, dan tersier. Tiga kebutuhan inilah yang kemudian menuntut manusia untuk melakukan usaha-usaha demi memenuhi kebutuhan tersebut. Usaha-usaha tersebut dinamakan sebagai bekerja dan pekerja atau tenaga kerja adalah sebutan bagi orang yang melakukannya.
Dewasa ini, tidak dapat dipungkuri bahwa banyak tenaga kerja perempuan yang bertebaran di berbagai perusahan milik pemerintah maupun swasta, sehingga sudah seharusnya negara membuat regulasi untuk memberikan perlindungan bagi perempuan. Sebab, perempuan memunyai kodrat sekaligus keistimewaan yang tidak dimiliki oleh laki-laki yaitu mengandung, melahirkan, dan menyusui. Akan tetapi, fakta membuktikan bahwa banyak yang memandang hal itu sebagai persoalan yang remeh. Semua itu dianggap sebagai kodrat perempuan yang harus dijalankan saja. Padahal, perjuangan perempuan dalam hal itu sangat keras, karena mempertahunkan nyawa.
Indonesia sebagai negara hukum, sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 1 ayat 3, tentu memberikan perhatian kepada pekerja perempuan yang memiliki kodrat untuk mengandung, melahirkan, dan menyusui.  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 82 ayat 1 menerangkan bahwa Indonesia memberikan perlindungan kepada pekerja atau buruh perempuan untuk istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidang. Undang-Undang ini adalah salah satu produk hukum yang dihasilkan oleh Indonesia sebagai negara hukum.
Lahirnya UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 82 ayat 1 tersebut adalah sebagai wujud perhatian negara terhadap pekerja perempuan yang memiliki tugas untuk mengandung, melahirkan, dan menyusui buah hatinya. Namun, waktu cuti yang diberikan sangatlah sedikit, sehingga tidak cukup bagi perempuan yang memiliki tanggung jawab sebagai Ibu untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada buah hatinya. Padahal, ibu yang dikenal sebagai “guru” (madrasatul ula) bagi anaknya, tentu harus lebih intensif dalam mengasuh dan mendidik buah hatinya, terutama pada masa emas (dua tahun awal setelah lahir). Dengan tujuan, terbinanya sumber daya manusia yang berkualitas.
Bercermin pada Norwegia
Di beberapa negara Barat, cuti melahirkan yang diberikan kepada pekerja/buruh perempuan terbilang panjang. Maka tak mengherankan jika kualitas SDM-nya relatif lebih baik. Salah satu contohnya di Norwegia, sebuah negara Nordik yang terletak di Semenanjung Skandinavia bagian ujung barat yang berbatasan langsung dengan Swedia, Finlandia, dan Rusia. Negara yang memuyai iklim temperat ini dikenal sebagai negara kampiun Hak Asasi Manusia (HAM). Di sana manusia sangat dihargai, baik jiwa maupun raganya.
Sejak 1978, Norwegia melarang diskriminasi berdasarkan gender dan telah meratifikasi semua perjanjian internasional tentang HAM dan persamaan hak perempuan dan laki-laki. Dan yang paling menarik perhatian dunia adalah dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan, rasa kemanusiaan yang menjadi landasan. Tidak seperti negara kita yang selalu “meniadakan” hal itu. Bahkan, CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Woman), sebagai lembaga PBB yang menangani masalah perempuan, menyebut Norwegia sebagai “surga bagi kesetaraan gender”.
Salah satu bentuk penghargaan Norwegia terhadap HAM adalah gaji bagi tenaga kerja manusia lebih banyak dibandingkan tenaga mesin. Tidak hanya itu, yang patut Indonesia jadikan cermin adalah hak perempuan di sana sangat dijunjung tinggi. Dalam pekerjaan misalnya, perempuan yang mengandung atau melahirkan mendapatkan hak cuti kerja selama 10 bulan, baik yang bekerja di sektor pemerintah maupun swasta. Bahkan, dalam masa cutinya itu, gaji bulanan tetap diperoleh dan mendapat tunjangan khusus untuk bayi sebagai biaya pemeliharaan selama dua tahun. Selain itu, seorang suami juga memperoleh hak cuti bekerja selama 8 minggu guna menemani isteri selama masa persalinan dan perawan bayi. Dengan demikian, kedua orang tua dapat berhenti bekerja sejenak guna fokus merawat si bayi, agar menjadi SDM yang bisa diandalkan.
Islam Menjawab
Berkaitan dengan perlindungan kepada perempuan yang mengandung, melahirkan, dan menyusui, Islam sebagai agama yang paripurna, tentu telah memberi isyarat terkait persoalan tersebut. Dalam Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 233 dan Luqman ayat 14, Allah Swt. telah menegaskan bahwa seorang ibu memiliki kewajiban untuk menyusui anaknya selama dua tahun. Karena itu, dapat ditarik benang merah bahwa selama itu perempuan karir yang memiliki tanggung jawab sebagai ibu harus diberi waktu cuti untuk memberikan pelayanan terbaik kepada anaknya, agar tumbuh menjadi anak yang normal dan berkualitas.
Indonesia sebagai negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, tentu harus menanamkan nilai-nilai keislaman dalam produk hukum yang dihasilkan. Sebab, selain sebagai agama mayoritas, Islam juga sangat memerhatikan nilai kemanusiaan. Dalam Islam, aturan-aturan itu dibuat dengan orientasi untuk kemasalahatan. Namun, realitas di Indonesia, sedikit sekali aturan-aturan yang dihasilkan berdasarkan nilai-nilai keislaman. Salah satu contohnya adalah peraturan tentang ketenagakerjaan soal perlindungan tenaga kerja perempuan yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 82 ayat 1.
Negara-negara Barat yang notabenenya tidak beragama Islam, justru tanpa disadari yang lebih dominan menerapkan nilai-nilai keIslaman dan kemanusiaan dalam tata aturannya. Sehingga tidak heran jika negaranya lebih maju dan SDMnya pun relatif lebih baik dibandingkan Indonesia. Karena itu, jika Indonesia ingin maju, maka harus berkaca dari semua ini untuk kemudian mengambil langkah yang cepat dan tepat. Dengan harapan, aturan-aturan yang dihasilkan dapat berdasarkan nilai-nilai keislaman dan kemanusian guna merealisasikan konsep memanusiakan manusia. Wallāhu a’lam bi al-shawwāb
Oleh: Abdurrahman Syafrianto, Kabid PTKP komisariat Syariah Periode 2017-2018 Aktivis Kemanusiaan dan Mahasiswa Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang
 Sumber : www.militan.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages