Kedewasaan Demokrasi Mahasiswa - HMI Komisariat Syariah Walisongo Semarang

Breaking

Senin, 10 Desember 2018

Kedewasaan Demokrasi Mahasiswa


Kegiatan politik beberapa bulan terakhir ini telah mewarnai aktivitas rakyat Indonesia. Sekitar dua bulan yang lalu, rakyat Indonesia melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung. Bulan April 2019 yang akan datang akan dilaksanakan juga pemilihan orang nomor satu di Indonesia bersama anggota-anggota legislatif. Tapi sebelum itu, ternyata dibeberapa kampus juga akan melaksanakan pemilihan mahasiswa nomor satu se-kampusnya.
UIN Walisongo, contohnya. Di bulan Desember ini, universitas yang terletak di Semarang Jawa Tengah ini sedang melaksanakan Pemilih Mahasiswa (Pemilwa). Tercatat sampai saat ini, student government UIN Walisongo telah melaksankan agenda pemilwa ke tahap debat calon kandidat Dewan Mahasiswa-Universitas/Fakultas ((Dema-U/F), dan Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ).
Dalam pemilwa, semua mahasiswa yang masih aktif dilibatkan dalam pergolakan politik kampus, Mulai dari para anggota organisasi mahasiswa (ormawa), baik intra maupun ekstra, sampai mahasiswa yang suka nongkrong atau mahasiswa yang lain memiliki hak yang sama untuk memilih atau dipilih.
Singkatnya pemilwa ini dipahami sebagai bentuk mikro dari pesta demokrasi lima tahunan yang terbesar di Indonesia. Kampus dianggap sebagai miniatur negara. Demokrasi yang umumnya dipahami dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka makna itu berubah dalam konteks mahasiswa, menjadi dari mahasiswa, oleh mahasiswa dan untuk mahasiswa.
Sebagai orang yang ikut serta dalam debat dema tersebut, penulis melihat ada fenomena yang berbahaya untuk demokrasi Indonesia ke depan. Saat debat berlangsung, para audiens dari kalangan mahasiswa hanya sekitar 100 orang dari ribuan mahasiswa aktif di UIN Walisongo. Padahal agenda debat ini sangat berguna sebagai referensi mahasiswa dalam memilih siapa calon yang paling pantas.
Tidak mencapai lima persen audiens dari jumlah keseluruhan mahasiswa UIN Walisongo  menunjukan bahwa betapa pasifnya mahasiswa terhadap politik. 90 persen lainnya seolah-olah tidak peduli terhadap kebijakan kampus. Dalam pandangan mereka bahwa ikut campur dalam politik merupakan perbuatan buruk. Padahal politik itu ibarat pisau dapur, akan menjadi bermanfaat jika dipegang oleh seorang juru masak bukan sosiopat.
Penulis katakan berbahaya bagi demokrasi ke depannya, karena masih dalam tingkatan demokrasi mikro saja, mahasiswa sudah pasif terhadap politik, apalagi pada tingkatan makronya, pemilu 2019 ke depan. Padahal jumlah pemilih pemula, diantaranya mahasiswa, berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementrian Dalam Negeri sebanyak 5.035.887 orang (kompas.com).
Namun menyalahkan sifat pasif mahasiswa terhadap politik tidak bisa disalahkan secara sepenuhnya. Tidak mungkin ada asap kecuali sebelumnya ada api. Tidak mungkin mahasiswa tiba-tiba pasif terhadap politik kecuali sebelumnya ada sesuatu yang menyebabkan kepasifan tersebut. Karena jika melihat sejarah, mahasiswa sangan lekat dengan politik. Apalagi ketika kebijakan NKK/BKK dicabut, seharusnya mahasiswa bisa lebih aktif terhadap politik.
Berdasarkan pengamatan dan riset kecil-kecilan penulis, ada dua sebab mahasiswa pasif terhadap politik, khususnya pemilwa ini. Pertama, figur pemimpin yang diajukan kurang berkenan di hati pemilih. Belum ada track record yang baik yang dapat memaksa mahasiswa untuk memilihnua.
Menanggulangi perkara ini, cukup sulit. Tidak berkualitasnya calon pemimpin yang diajukan disebabkan juga oleh tidak ada minat dari mahasiswa yang berkualitas untuk terjun ke ranah ini. Untuk itu, sekali lagi penyadaran bahwa politik itu penting sangat dibutuhkan di kalangan mahasiswa saat ini.
Kedua, pemilih mulai jenuh, tidak ada membawa perubahan bagi kehidupan rakyat. Diadakan pemilwa hanya sebatas formalitas saja, agar menggambarkan bahwa di kampus ada government mahasiswa. Pemilihan mau diadakan secara demokratis atau cara yang lain, hasilnya akan sama saja. “Kong-Kalingkong” kelompok tertentu sudah menjadi budaya. Akibatnya, kandidat yang terpilih tidak menjadi harapan untuk membawa perubahan kepada orang banyak.
Diluar dari dua sebab di atas, independesi mahasiswa harus menjadi perhatian penting. Mahasiswa tersebut aktif dalam pemilwa, melakukan pemilihan saat hari-H. Tapi sayang, keaktifaan tersebut bukan lahir dari kesadarannya sendiri, ada intervensi dari yang lain, organisasi, senior, ataupun uang. Perilaku inilah penyebab kecacatan demokrasi baik dalam ranah kampus maupun Negara.
Berdasarkan permasalah di atas, melakukan penyadaran secara penuh kepada mahasiswa bahwa politik itu penting dan tidak buruk adalah solusi kongkritnya. Untuk itu, siapapun yang akan terpilih diharapakan bisa menunjukan bahwa rezimnya bisa membawa perubahan bagi mahasiswa. Melakukan penyadaran kepada mahasiwa bahwa “ini loh, rezim kami buktinya,” jika yang pegang orang baik, maka akan baik pula kebijakannya.
Tidak hanya itu, dalam miniature demokrasi ini, elemen-elemen yang paham tehadap politik harus ikut turun bekerja sama. Demokrasi mahasiswa merupakan gambaran kedewasaan kehidupan demokrasis sesungguhnya. Sebab sejatinya, demokrasi mahasiswa dibangun oleh gerakan moral dengan semangat keilmuan, kekeluargaan, serta keterbukaan yang sewaktu-waktu akan berubah menjadi gerakan politk, ketika rezim mulai tidak lagi berpihak kepada mustadh’afiin. Berubahlah mahasiswa! Ditanganmu, masa depan bangsa dipertaruhkan. Wa Allah A’lam bi al-Shawaab.
Oleh: Kodrat Alamsyah, Sekretaris Umum Center of Democracy and Religious Studies (CDRS) Semarang, Mahasiswa UIN Walisongo Semarang
Sumber :www.militan.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages