Kegiatan politik beberapa
bulan terakhir ini telah mewarnai aktivitas rakyat Indonesia. Sekitar dua bulan
yang lalu, rakyat Indonesia melaksanakan pemilihan kepala daerah secara
langsung. Bulan April 2019 yang akan datang akan dilaksanakan juga pemilihan
orang nomor satu di Indonesia bersama anggota-anggota legislatif. Tapi sebelum
itu, ternyata dibeberapa kampus juga akan melaksanakan pemilihan mahasiswa
nomor satu se-kampusnya.
UIN Walisongo, contohnya. Di
bulan Desember ini, universitas yang terletak di Semarang Jawa Tengah ini
sedang melaksanakan Pemilih Mahasiswa (Pemilwa). Tercatat sampai saat ini,
student government UIN Walisongo telah melaksankan agenda pemilwa ke tahap
debat calon kandidat Dewan Mahasiswa-Universitas/Fakultas ((Dema-U/F), dan
Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ).
Dalam pemilwa, semua
mahasiswa yang masih aktif dilibatkan dalam pergolakan politik kampus, Mulai
dari para anggota organisasi mahasiswa (ormawa), baik intra maupun ekstra,
sampai mahasiswa yang suka nongkrong atau mahasiswa yang lain memiliki hak yang
sama untuk memilih atau dipilih.
Singkatnya pemilwa ini
dipahami sebagai bentuk mikro dari pesta demokrasi lima tahunan yang terbesar
di Indonesia. Kampus dianggap sebagai miniatur negara. Demokrasi yang umumnya
dipahami dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka makna itu berubah dalam
konteks mahasiswa, menjadi dari mahasiswa, oleh mahasiswa dan untuk mahasiswa.
Sebagai orang yang ikut serta
dalam debat dema tersebut, penulis melihat ada fenomena yang berbahaya untuk
demokrasi Indonesia ke depan. Saat debat berlangsung, para audiens dari
kalangan mahasiswa hanya sekitar 100 orang dari ribuan mahasiswa aktif di UIN
Walisongo. Padahal agenda debat ini sangat berguna sebagai referensi mahasiswa
dalam memilih siapa calon yang paling pantas.
Tidak mencapai lima persen
audiens dari jumlah keseluruhan mahasiswa UIN Walisongo menunjukan bahwa
betapa pasifnya mahasiswa terhadap politik. 90 persen lainnya seolah-olah tidak
peduli terhadap kebijakan kampus. Dalam pandangan mereka bahwa ikut campur
dalam politik merupakan perbuatan buruk. Padahal politik itu ibarat pisau
dapur, akan menjadi bermanfaat jika dipegang oleh seorang juru masak bukan
sosiopat.
Penulis katakan berbahaya
bagi demokrasi ke depannya, karena masih dalam tingkatan demokrasi mikro saja,
mahasiswa sudah pasif terhadap politik, apalagi pada tingkatan makronya, pemilu
2019 ke depan. Padahal jumlah pemilih pemula, diantaranya mahasiswa,
berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kementrian Dalam Negeri sebanyak 5.035.887 orang (kompas.com).
Namun menyalahkan sifat pasif
mahasiswa terhadap politik tidak bisa disalahkan secara sepenuhnya. Tidak
mungkin ada asap kecuali sebelumnya ada api. Tidak mungkin mahasiswa tiba-tiba
pasif terhadap politik kecuali sebelumnya ada sesuatu yang menyebabkan
kepasifan tersebut. Karena jika melihat sejarah, mahasiswa sangan lekat dengan
politik. Apalagi ketika kebijakan NKK/BKK dicabut, seharusnya mahasiswa bisa
lebih aktif terhadap politik.
Berdasarkan pengamatan dan
riset kecil-kecilan penulis, ada dua sebab mahasiswa pasif terhadap politik,
khususnya pemilwa ini. Pertama, figur pemimpin yang diajukan kurang berkenan di
hati pemilih. Belum ada track record yang
baik yang dapat memaksa mahasiswa untuk memilihnua.
Menanggulangi perkara ini,
cukup sulit. Tidak berkualitasnya calon pemimpin yang diajukan disebabkan juga
oleh tidak ada minat dari mahasiswa yang berkualitas untuk terjun ke ranah ini.
Untuk itu, sekali lagi penyadaran bahwa politik itu penting sangat dibutuhkan
di kalangan mahasiswa saat ini.
Kedua, pemilih mulai jenuh,
tidak ada membawa perubahan bagi kehidupan rakyat. Diadakan pemilwa hanya
sebatas formalitas saja, agar menggambarkan bahwa di kampus ada government
mahasiswa. Pemilihan mau diadakan secara demokratis atau cara yang lain,
hasilnya akan sama saja. “Kong-Kalingkong” kelompok tertentu sudah menjadi
budaya. Akibatnya, kandidat yang terpilih tidak menjadi harapan untuk membawa
perubahan kepada orang banyak.
Diluar dari dua sebab di
atas, independesi mahasiswa harus menjadi perhatian penting. Mahasiswa tersebut
aktif dalam pemilwa, melakukan pemilihan saat hari-H. Tapi sayang, keaktifaan
tersebut bukan lahir dari kesadarannya sendiri, ada intervensi dari yang lain,
organisasi, senior, ataupun uang. Perilaku inilah penyebab kecacatan demokrasi
baik dalam ranah kampus maupun Negara.
Berdasarkan permasalah di
atas, melakukan penyadaran secara penuh kepada mahasiswa bahwa politik itu
penting dan tidak buruk adalah solusi kongkritnya. Untuk itu, siapapun yang
akan terpilih diharapakan bisa menunjukan bahwa rezimnya bisa membawa perubahan
bagi mahasiswa. Melakukan penyadaran kepada mahasiwa bahwa “ini loh, rezim kami
buktinya,” jika yang pegang orang baik, maka akan baik pula kebijakannya.
Tidak hanya itu, dalam
miniature demokrasi ini, elemen-elemen yang paham tehadap politik harus ikut
turun bekerja sama. Demokrasi mahasiswa merupakan gambaran kedewasaan kehidupan
demokrasis sesungguhnya. Sebab sejatinya, demokrasi mahasiswa dibangun oleh
gerakan moral dengan semangat keilmuan, kekeluargaan, serta keterbukaan yang
sewaktu-waktu akan berubah menjadi gerakan politk, ketika rezim mulai tidak
lagi berpihak kepada mustadh’afiin.
Berubahlah mahasiswa! Ditanganmu, masa depan bangsa dipertaruhkan. Wa
Allah A’lam bi al-Shawaab.
Oleh:
Kodrat Alamsyah, Sekretaris
Umum Center of Democracy and Religious Studies (CDRS) Semarang, Mahasiswa UIN
Walisongo Semarang
Sumber :www.militan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar